Tradisi tenun merupakan warisan budaya yang lekat dengan filosofi kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Kain songket salah satunya. Perpaduan antara keindahan, ketekunan, dan ketelitian menjadikan motif kain tenun songket terus bertahan sebagai pilihan estetik komunitas modern. Kenali lebih dalam kain songket melalui artikel berikut.
Teknik songket bukan hanya dikenal di Indonesia, melainkan juga Malaysia, Thailand, dan Brunei. Hal ini karena tradisi kain songket berasal dari budaya Melayu yang tersebar di negara-negara tersebut. Di Indonesia, kain songket Palembang dan Minangkabau diketahui sebagai jenis paling awal sebelum tersebar ke beberapa daerah lain seperti Bali, Lombok hingga Makassar. Terdapat beberapa variasi catatan sejarah tentang asal kain songket, diantaranya:
Berdasarkan hikayat rakyat Palembang, kain songket berasal dari perpaduan antara produk dagang Tiongkok yaitu benang sutera dan India yang menyediakan benang emas dan perak. Kedua benang itu kemudian ditenun menggunakan alat kayu dari budaya Melayu.
Masyarakat Kelantan percaya bahwa songket adalah teknik tenun dari wilayah Kamboja dan Thailand yang berkembang ke daerah selatan. Proses penyebaran ini dimulai dari Pattani kemudian mencapai Kelantan dan Terengganu, Malaysia.
Lain dari versi Kelantan, penenun Terengganu berpendapat bahwa songket adalah teknik yang pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Palembang oleh para pedagang India dalam masa pemerintahan kerajaan Sriwijaya.
Dalam tradisi nusantara, corak emas kain songket dipercaya merupakan representasi dari kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Benang emas murni yang sejatinya merupakan bahan dari kain songket memang ditemukan pada reruntuhan situs Sriwijaya. Meskipun demikian, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa para penenun lokal sudah menggunakan benang tersebut pada sekitar abad ke-7.
Sebagaimana dalam daftar di atas, catatan dokumentasi asal kain songket masih belum cukup jelas. Pada budaya Melayu, terdapat praktik penggunaan songket sebagai hantaran nikah para bangsawan dan simbol perjanjian strategis antarpenguasa. Kerajinan ini dulunya berpusat di kerajaan karena bahan bakunya yang mahal yaitu lembaran emas murni.
Sebagaimana dalam daftar di atas, catatan dokumentasi asal kain songket masih belum cukup jelas. Pada budaya Melayu, terdapat praktik penggunaan songket sebagai hantaran nikah para bangsawan dan simbol perjanjian strategis antarpenguasa. Kerajinan ini dulunya berpusat di kerajaan karena bahan bakunya yang mahal yaitu lembaran emas murni.
Berasal dari istilah ‘sungkit’ yang dalam bahasa Melayu bermakna mengait atau mencungkil, songket merupakan teknik produksi kain dengan mengaitkan benang emas dan perak menggunakan alat tenun. Bahan kain yang digunakan bervariasi antara benang katun hingga sutra. Kain songket Palembang secara khusus menggunakan benang sutra.
Pada umumnya, alat utama dalam pembuatan kain songket terdiri bambu dan kayu berukuran 2 x 1,5 meter yang disebut panta atau dayan. Alat tersebut memiliki beberapa bagian yang berfungsi mulai dari menggulung benang dasar, merentangkan benang, membuat motif, memasukkan benang tambahan ke benang dasar, hingga mengangkat benang.
Bahan dasar kain tenun songket adalah lusi atau lungsin yang terbuat dari kulit kayu, kapas, daun palem, serat pisang, dan serat nanas. Benang sutra, emas, atau perak kemudian digunakan untuk membuat hiasan. Proses pembuatannya terdiri dari dua tahap, yaitu menenun kain dasar yang memiliki pola sederhana kemudian memasukkan motif dekoratif dengan benang khusus.
Mendapat julukan “Ratu dari Segala Kain”, kain songket Palembang menempati urutan pertama dari segi kualitas. Selain terbuat dari benang sutra, kain songket Palembang memiliki motif yang lebih rumit dibandingkan jenis lainnya. Terang saja, seorang penenun bisa menghabiskan waktu 3 bulan untuk menyelesaikan satu lembar kain songket eksklusif. Sementara itu, songket biasa hanya memakan waktu produksi sekitar 3 hari.
Motif asal kain songket Palembang terdiri dari tiga jenis, yaitu tumbuhan, geometris, dan campuran. Motif tumbuhan memiliki filosofi bahwa kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari alam, sedangkan motif geometris dan campuran tidak mengandung makna khusus. Selain itu, motif tumbuhan atau bunga juga dapat dimaknai sebagai gambaran kehidupan wanita yang lebih banyak terlibat dalam proses tenun songket. Dari susunan bahan dasar dan ciri khasnya, kain songket Palembang terbagi menjadi beberapa variasi, yaitu Lepus, Tawur, Tretes, Bungo Pacik, Limar, dan Variasi.
Suku Sasak di Lombok telah lama menerapkan tradisi tenun songket atau yang dikenal dengan ‘nyensek’. Dalam budaya lokal, kain songket ini digunakan pada acara pernikahan atau upacara adat. Bahkan di Desa Sukarara, Lombok Tengah, seorang perempuan hanya dapat menikah jika telah pandai menenun songket yang nantinya akan diberikan ke calon suami. Apabila tidak, maka perempuan tersebut harus membayar denda.
Berbeda dengan kain songket Palembang dan Minangkabau, kain songket berasal dari Lombok menggunakan benang katun aneka warna sebagai pengganti benang emas atau perak. Selain itu, coraknya lebih padat sehingga nampak ramai. Songket Lombok juga tidak menggunakan motif tumpal sebagai kepala kain seperti kain songket Palembang dan Minangkabau pada umumnya.
Pada mulanya, motif asal kain songket Lombok terinspirasi dari berbagai tokoh dalam kisah pewayangan suku Sasak. Setelah terjadi proses akulturasi masuknya Islam, mayoritas motif bergeser menjadi bentuk tumbuhan dan kaligrafi bahasa arab. Beberapa variasi yang hingga kini masih dapat ditemukan, yaitu Wayang, Subhanale, Serat Penginang, Ragi Genep, Bintang Empat, Keker atau Merak, Tokek, dan lain sebagainya.
Dari kerajaan Sriwijaya yang kemudian disebarkan oleh bangsa Melayu, tradisi tenun songket sampai kepada masyarakat Minang. Belum mengenal huruf, rakyat Minang banyak mengekspresikan diri melalui karya songket.
Kain songket berasal dari Minangkabau didominasi oleh motif tumbuhan, binatang, dan benda alam yang tercermin dalam penamaannya. Beberapa motif asal kain songket Minangkabau, yaitu Pucuk Rabuang, Ilalang Rabah, Lintahu Bapatah, Bungo Malur, Pucuak Kelapan, Bungo Tanjung, Kudo-Kudo, Ranggo Patai, dan sebagainya. Pucuk Rabuang merupakan motif paling legendaris karena memiliki filosofi mendalam tentang proses menuju kehidupan yang bermanfaat.
Di Pulau Bali, motif asal kain songket adalah garis-garis diagonal dan floral. Pola tersebut memberikan kesan magis yang melambangkan falsafah Hindu. Pasalnya, masyarakat lokal biasa menggunakan songket untuk upacara keagamaan besar. Salah satu motif kain songket berasal dari Bali adalah Sidemen yang diproduksi di Desa Sidemen.
Dari bahan hingga cara pembuatannya, pada awalnya, songket adalah kain mewah yang dikenakan bangsawan untuk menunjukkan kemuliaan derajatnya. Namun seiring perkembangan zaman, benang emas murni digantikan dengan bahan sintetis sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat yang lebih luas. Selain itu, kain songket juga banyak dipasarkan sebagai aneka produk, seperti peci, tas wanita, hingga dompet. Meskipun tidak menggunakan bahan emas murni, kreasi kain songket berkualitas tetap mendapat apresiasi tinggi dalam dunia tekstil.
Kerajinan tenun songket dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah nusantara. Di Sumatera Barat, terdapat daerah Silungkang dan Pandai Sikek yang populer dengan songket Minangkabau. Di Pulau Lombok, pusat kerajinan songket Lombok banyak ditemukan di Desa Getap dan Sukadana di Lombok Barat serta Desa Ungga dan Sukarara di Lombok Tengah. Kain songket Palembang dapat ditemukan di beberapa sentra yang tersebar di Kecamatan Indralaya, Sumatera Selatan. Sementara itu, kerajinan asal kain songket Bali memiliki sentra yang terletak di Singaraja dan Cepik.
Teknik tenun kain songket tidak hanya menawarkan keindahan berupa hasil, melainkan juga proses kreasi. Ciri khas inilah yang menjadikan tradisi songket tidak tergantikan dalam industri mode. Dikemas dalam desain kontemporer, kain songket dapat tampil lebih segar dengan tetap membawa keanggunan identitas etnis.